♥️ Hadits Irbadh Bin Sariyah
Hadisini menunjukkan bahawa sesuatu yang tidak diberi keterangan oleh Allah dan RasulNya, lalu diada-adakan itu wajib tidak kita terima atau wajib kita tolak mentah-mentah. Dari al-'Irbadh bin Sariyah r.a., iaitu Hadisnya yang terdahulu - lihat Hadis nombor 157 - dalam bab Memelihara Sunnah. Diposting oleh Unknown di 02.14 Tidak ada komentar:
Berkataal-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu : “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah nasihat ini
Video Terbaru Al-Ibanah Ash-Shughra (Eps.10) : Pelajaran Berharga dari Hadits Irbadh bin Sariyah Silahkan dibagikan kepada saudara
haditske 28 dari Syarah Kitab Al-Arba’in fi Mabanil Islam wa Qawaid Al-Ahkam yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Najih Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘Anhu yang juga diriwayatkan oleh Tirmidzi.
DariAbu Najih Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang karenanya hati kami bergetar dan air mata mengalir, maka kami mengatakan: ‘Ya Rasulullah, seolah-olah ini adalah pesan dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat
Berkataal-'Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu, "Suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: 'Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari
Dalamhadits lain diterangkan kita diperintah supaya memegangi sunah Nabi Muhammad Shalalahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dalam haditsnya Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: 'Nabi Muhammad Shalalahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
AbuDawud dan Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Irbadh bin Sariyah disohihkan imam Al-Albani. ( ) Maka apakah masih berat bagi kita untuk meruju' kepada Al-Qur'an dan sunnah jika terjadi perselisihan. Dan apakah kita akan terus bertahan di atas kemauan walaupun dalil tidak mendukung?! Lalu kapan kita akan tunduk dan mewujudkan tuntutan dalil
KajianTentang Larangan Banyak Berkisah dan Meningalkan Sunnah Hadits ke-59. Kita masuk hadits ke-59, dari Al-‘Irbadh bin Sariyah -semoga Allah meridhainya-, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:. لقد تركتكم على
LH4S0v. Apa itu bid’ah? Pengertian Bid’ah Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, 191 Definisi secara bahasa ini dapat dilihat pada perkataan Umar, الْبِدْعَةُ هَذِهِ “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” HR. Bukhari, no. 2010 Bid’ah secara istilah syar’i yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah, عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ “Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat tanpa ada dalil, pen yang menyerupai syari’at ajaran Islam, yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.” Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat tradisi. Adapun yang memasukkan adat tradisi dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah, طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ “Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat tanpa ada dalil, pen dan menyerupai syari’at ajaran Islam, yang dimaksudkan ketika melakukan adat tersebut adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah.” Lihat Al-I’tisham, 150-51 Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, وَالْبِدْعَةُ مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ “Bid’ah adalah i’tiqod keyakinan dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ kesepakatan salaf.” Majmu’ah Al-Fatawa, 18 346 Tiga Syarat Disebut Bid’ah Untuk melengkapi definisi bid’ah sebelumnya, kita harus memahami tiga syarat kapankah suatu amalan disebut bid’ah. Tiga syarat ini asalnya disimpulkan dari dalil-dalil berikut ini. Pertama Hadits Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasul shallallahu alaihi wa sallam, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” HR. Abu Daud, no. 4607 dan Tirmidzi, no. 2676. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini shahih Kedua Hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” HR. Muslim, no. 867 Ketiga Hadits Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” HR. Bukhari, no. 20 dan Muslim, no. 1718 Keempat Dalam riwayat lain dari Aisyah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” HR. Muslim, no. 1718 Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu Sesuatu yang baru dibuat-buat. Sesuatu yang baru dalam agama. Tidak disandarkan pada dalil syar’i. Tiga syarat di atas telah kita temukan pula dalam perkataan para ulama berikut. Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, فَكُلُّ مَنْ أَحْدَثَ شَيْئاً ، وَنَسَبَهُ إِلَى الدِّيْنِ ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الدِّيْنِ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، فَهُوَ ضَلاَلَةٌ ، وَالدِّيْنُ بَرِيءٌ مِنْهُ ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ مَسَائِلُ الِاعْتِقَادَاتِ ، أَوْ الأَعْمَالُ ، أَوِ الأَقْوَالُ الظَّاهِرَةُ وَالْبَاطِنَةُ . “Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod keyakinan, amalan, perkataan yang lahir dan batin.” Jaami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 2128 Beliau rahimahullah juga berkata, وَالمرَادُ بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لاَ أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيْعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ ، فَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الشَّرْعِ يَدُلُّ عَلَيْهِ ، فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعاً ، وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan dalil dalam syari’at sebagai pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.” Jaami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 2127 Ibnu Hajar rahimahullah berkata, وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا “Sesuatu yang memiliki landasan dalil dalam syari’at, maka itu bukanlah bid’ah. Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.” Fath Al-Bari, 13253 Setelah memahami yang dikemukakan di atas, pengertian bid’ah secara ringkas adalah, مَا أَحْدَثَ فِي الدِّيْنِ مِنْ غَيْرِ دَلِيْلٍ “Sesuatu yang baru dibuat-buat dalam masalah agama tanpa adanya dalil.” Inilah yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela dan dicela oleh Islam. Lihat Qowa’id Ma’rifah Al-Bida’, hlm. 22. Pembahasan pada point ini juga diringkas dari Qowa’id Ma’rifah Al-Bida’, hlm. 17-22. Semoga benar-benar dapat memahami bid’ah lebih dekat. Referensi Mengenal Bid’ah Lebih Dekat. Muhammad Abduh Tuasikal. Penerbit Pustaka Muslim Bisa menghubungi WA Toko 085200171222 Disusun Perpus Rumaysho, 10 Maret 2018 Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Artikel
Hadits Tirmidzi Nomor 2600 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا حَدَّثَنَا بِذَلِكَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ وَالْعِرْبَاضُ بْنُ سَارِيَةَ يُكْنَى أَبَا نَجِيحٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ حُجْرِ بْنِ حُجْرٍ عَنْ عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Hujr] telah menceritakan kepada kami [Baqiyyah bin al Walid] dari [Bahir bin Sa'd] dari [Khalid bin Ma'dan] dari [Abdurrahman bin Amru as Sulami] dari [al 'Irbadh bin Sariyah] dia berkata; suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; 'seakan-akan ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta'at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham." Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan shahih, [Tsaur bin Yazid] telah meriwayatkannya dari [Khalid bin Ma'dan] dari [Abdurrahman bin 'Amru as sulami] dari [Al 'Irbadh bin Sariyah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits diatas ini. Dan telah menceritakan kepada kami seperti itu [Al Hasan bin Ali al Khallal] dan tidak tidak hanya satu orang saja, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Abu 'Ashim] dari [Tsaur bin Yazid] dari [Khalid bin Ma'dan] dari [Abdurrahman bin 'Amru as sulami] dari [Al 'Irbadh bin Sariyah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits diatas. Dan Al 'Irbadh bin Sariyah mempunyai kunyah Abu Najih. Dan telah diriwayatkan hadits ini dari [Hujr bin Hujr] dari ['Irbadh bin Sariyah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits diatas.
Hadits Arbain 28 ini mengajarkan kita satu prinsip penting dalam beragama, ikutilah sunnah nabi shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkanlah bidah, serta diperintahkan untuk taat pada pemimpin selama bukan dalam maksiat. الحَدِيْثُ الثَّامِنُ وَالعِشْرُوْنَ عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قاَلَ وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ Hadits Kedua Puluh Delapan Dari Abu Najih Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, Wahai Rasulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih. [HR. Abu Daud, no. 4607 dan Tirmidzi, no. 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih]. Faedah Hadits Pertama Sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam begitu semangat dalam meraih kebaikan. Kedua Disyariatkan memberi nasihat maw’izhah, diberikan pada tempatnya, dan sifat nasihat tersebut membekas. Syaikh Abdul Muhsin menyatakan, “Maw’izhah nasihat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam punya tiga sifat yaitu al-balaaghah bahasanya menyentuh dan jelas, hati bergetar, dan bisa membuat mata menangis.” Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 95. Ketiga Wasiat perpisahan itu lebih membekas dalam hati. Keempat Hati yang dalam keadaan takut, bisa membuat air mata menangis. Jika hati dalam keadaan gelap penuh maksiat, maka air mata tidaklah menangis, karena tidak dalam keadaan takut pada Allah. Hal ini yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Syaikh Abdullah Al-Farih. Baca Juga Menangis Karena Allah Kelima Disyariatkan meminta nasihat dari yang lain, lebih-lebih lagi yang dimintai nasihat adalah orang yang punya keutamaan dalam ilmu. Keenam Wasiat yang paling penting untuk seorang hamba adalah bertakwa kepada Allah, karena wasiat tersebut merupakan wasiat orang yang terdahulu dan belakangan. Ketujuh Syaikh Abdul Muhsin berkata, “Takwa adalah sebab memperoleh segala kebaikan dan kemenangan di dunia dan akhirat. Banyak ayat yang menyebutkan perintah untuk bertakwa kepada Allah. Seringnya adalah ayat tersebut didahului dengan kalimat Yaa ayyuhalladzina aamanuu wahai orang-orang yang beriman. Begitu pula takwa ini menjadi wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada para sahabatnya.” Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 96 Kedelapan Termasuk wasiat paling penting adalah menaati penguasa kaum muslimin dalam selain maksiat, juga berpegang pada ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan khulafaur rosyidin. Kesembilan Patuh dan taat kepada penguasa adalah selama bukan dalam perkara maksiat walaupun penguasa tersebut adalah seorang budak. Para ulama telah sepakat bahwa seorang budak tidaklah pantas untuk menjadi khalifah. Hadits ini berarti perintah untuk menaati penguasa, walau ia penguasa yang tidak pantas. Kesepuluh Syaikh Abdul Muhsin mengatakan, “Wasiat yang paling penting adalah taat dan patuh pada penguasa kaum muslimin karena di dalamnya terdapat manfaat dunia dan akhirat untuk kaum muslimin.” Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 100 Kesebelas Hadits ini menunjukkan mukjizat Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena sepeninggal beliau akan ditemui perselisihan yang banyak. Kedua belas Berpegang pada As-Sunnah yaitu jalan Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar selamat dari perselisihan, juga kita diperintahkan berpegang pada sunnah khulafaur rosyidin. Khulafaur rosyidin adalah Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menyatakan kekhilafahan mereka berdasarkan wahyu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Safinah radhiyallahu anhu, خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ المُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ “Khilafah Nubuwwah itu selama 30 tahun. Kemudian Allah karuniakan kerajaan setelah itu.” Dikeluarkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, 460. Masa pemerintahan – 632–634 M Abu Bakar Ash-Shiddiq – 634–644 M Umar bin Al-Khaththab – 644–656 M Utsman bin Affan – 656–661 M Ali bin Abi Thalib Ketiga belas Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jaami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, “As-Sunnah adalah jalan yang dilalui. Maka yang dimaksud di sini adalah berpegang pada jalan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan khulafaur rosyidin, yaitu dalam hal berakidah, amalan, dan ucapan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, ulama salaf terdahulu tidaklah memutlakkan begitu saja kata As-Sunnah kecuali mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan semakna dari Al-Hasan Al-Bashri, Al-Auza’i, dan Al-Fudhail bin Iyadh. Adapun ulama belakangan mengkhususkan istilah As-Sunnah untuk hal-hal yang terkait dengan keyakinan. Karena keyakinan akidah adalah pokok agama. Menyelisihi akidah ini berarti berada dalam bahaya yang besar.” Keempat belas Hadits ini mengingatkan bahaya bidah. Kelima belas Kaedah yang diajarkan dalam hadits ini adalah setiap bidah itu sesat, tidak ada bidah hasanah. Keenam belas Hadits yang menyebutkan menjadi pelopor dalam kebaikan sunnah hasanah yaitu hadits, مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” HR. Muslim, no. 1017. Hadits ini maksudnya adalah menjadi teladan dalam kebaikan. Sebagaimana hal ini begitu jelas ketika membicarakan sebab hadits ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika itu memotivasi untuk sedekah. Kemudian ada orang Anshar yang membawa wadah besar, kemudian yang lainnya ikut-ikutan dalam bersedekah. Ketujuh belas Umar menghidupkan shalat tarawih pada bulan Ramadhan juga bentuknya adalah menghidupkan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sudah ada. Kedelapan belas Ajaran khulafaur rosyidin dianggap sebagai ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kesembilan belas Hendaklah menggabungkan antara targhib dan tarhib, yaitu memotivasi dan menakut-nakuti. Dalam hadits digunakan kalimat targhib “fa-alaikum” hendaklah kalian mengikuti dan kalimat tarhib “wa iyyakum” hati-hatilah. Kedua puluh Wajib mempelajari ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Karena tidak mungkin seseorang mengikutinya selain dengan belajar. Tidak belajar, tentu saja tidak mungkin mengenal ajaran beliau. Kedua puluh satu Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika banyak golongan-golongan hizbiyyah, maka jangalah mengikuti hizbi yang ada. Dahulu sudah muncul banyak golongan seperti Khawarij, Muktazilah, Jahmiyyah, dan Rafidhah. Kemudian belakangan ini ada berbagai golongan seperti salafiyyun, tablighiyyun, dan semacamnya. Ini semua kelompok-kelompok, jadikanlah yang kamu ikuti adalah sunnah nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena Rasul shallallahu alaihi wa sallam katakan, Hendaklah berpegang pada ajaranku dan ajaran khulafaur rosyidin. Tidak ragu lagi bahwa wajib bagi kaum muslimin mengikuti madzhab salaf, kita tidak disuruh mengikuti kelompok yang namanya salafiyyun. Wajib bagi umat Islam mengikuti madzhab salafush shalih, bukan mengikuti kelompok salafiyyun. Namun para ikhwah salafiyyun lebih dekat pada kebenaran. Akan tetapi, masalah mereka adalah sama dengan yang lainnya, mereka saling sesatkan dan saling memfasikkan. Kami tidak salahkan mereka jika mereka berada di atas kebenaran. Akan tetapi, yang kami ingkari adalah cara mereka mengoreksi dengan cara seperti itu. Wajib bagi kita untuk menyatukan pemimpin tiap-tiap kelompok ini. Lalu kita suruh untuk mengikuti Alquran dan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Kita berhukum kepada keduanya bukan kembali pada hawa nafsu, bukan berhukum pada fulan atau fulan. Setiap orang bisa benar atau salah, selama masih berada di atas ilmu dan ibadah. Akan tetapi yang maksum adalah dinul Islam.” Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 308-309 Referensi Fath Al-Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abbad Al-Badr. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh Abdullah Al-Farih. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Baca Juga Hati-Hati Berkata Bid’ah Akibat Beramal Tanpa Tuntunan Diselesaikan di Garuda, perjalanan Jogja – Jakarta, 30 November 2019 Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Artikel
hadits irbadh bin sariyah